cerita pendek
Memorabilia Sakura Kuning
Dia ingin itu. Hanya itu. Pertama
kali ia datang, ia jatuh cinta. Langsung dan tertuju padanya. Ia hanya ingin
itu, pohon angsana yang kami lihat bersama saat liburan semester lalu.
November lalu, pohon angsana
berbunga kuning bermekaran di komplek kampusku. Katanya jika pohon angsana
berbunga dan kelopaknya berguguran, tandanya sebentar lagi akan datang musim
penghujan. Ya, gugurnya kelopak bunga angsa kuning yang cantik adalah pertanda
awal musim penghujan di kota ku. Kala saat itu tiba, semua orang akan dengan
sukacita mengabadikan panorama alam indah itu dengan kamera mereka. Wangi
semerbak bunga bercampur aroma udara lembab dan basah menyergap di setiap
sudut. Kelopak bunga yang berjatuhan satu persatu lama kelamaan melimpah
jumlahnya dan membanjiri setiap sudut kampus. Seketika kampusku tertutup
selimut warna kuning cerah kelopak bunga angsana. Indahnya tidak kalah dengan
hujan bunga sakura di negri matahari terbit. Memang, saat pohon ini sedang giat
memamerkan keindahannya, kami seakan terhipnotis dan sekejap merasa seakan
berada di luar negri. Bukan di Indonesia. Aku amat menyukai saat itu. Terutama
saat aku memandangi indahnya fenomena keindahan alam itu bersamanya.
November lalu pula, ia yang
biasanya berada beratus kilo meter jauhnya dari tempatku tinggal, kini ada di
sini. Saat liburan semester ia berencana mengunjungiku. Sahabatnya yang sudah
lama tidak ia temui, tidak ia tanyakan kabar beritanya, tidak ia ajak bicara,
tidak ia fikirkan /mungkin. Mungkin hanya aku yang menganggap ia sebagai teman
dekat, tidak dengannya. Kadang sesak sekali di dada kala mengingat kebersamaan
masa kecil kita dulu yang begitu menyenangkan. Satu kali lagi, ia mungkin sudah
melupakan hal itu.
Sudah 10 tahun lewat, kini kita
bertatap mata lagi, bersentuh jabat tangan lagi, bertukar pembicaraan lagi. Dan
secara sederhana, aku bahagia. Rinduku telah terobati oleh kehadirannya.
Ia sama sekali berubah. Secara
fisik, tingginya menjulang. Matanya semakin bijak memandang. Dan tentu suaranya
menjadi semakin berat. Kalau saja aku tidak bisa menahan diri, mungkin aku
sudah berloncatan memeluknya. Dia tersenyum, dan mengajakku berjalan
mengelilingi kota ini. Ku ajak ia mengitari area kampus untuk melihat hujan
sakura kuning, pikirku.
“Hari ini cerah, tidak hujan.
Memang sedikit mendung. Mengapa kamu bilang akan mengajakku melihat hujan?”
tanyanya.
“Hujan yang lebih indah dari yang
biasa” kataku.
Angsana masih terlalu dini untuk
berguguran mengguyur kampusku dengan kelopak kuningnya. Mungkin aku salah
mengambil waktu. Kami diam bersisian memandang pohon itu dari lantai dua gedung
kampusku. Dia memandang lurus ke depan. Tepat ke pohon angsana yang sudah mulai
berbunga.
“Aku ingin dia,” ujarnya.
“Dia?” tanyaku keheranan.
“Pohon itu. Indah, teduh, dan
anggun sekali. Kalau saja aku bisa membawanya ke kota ku. Pasti aku akan sangat
bahagia,” jawabnya.
“Kau akan berkali lipat
menginginkannya beberapa saat lagi. Maukah kau tinggal beberapa hari lagi di
sini?” aku menatapnya yang belum balas menatapku balik. Aku ingin dia lebih
lama lagi di sini, berbagi kebersamaan lagi seperti dulu denganku.
“Ya, aku akan menunggu untuk bisa
lebih jatuh cinta lagi,”
Aku bersemu mendengar jawabannya.
Walau yang ia maksud adalah pohon itu. Tapi entah mengapa aku mengasosiakan
kata-katanya itu dengan diriku. Mungkin aku sedikit naif untuk mengakui sudah
sekian lama aku menganggapnya lebih dari sekedar sahabat kecil. Aku
menyukainya. Tidak aku mencintainya. Aku hanya takut mengakuinya, dan mendapati
kenyataan kalau aku bukanlah siapa-siapa baginya. Lebih menyenangkan mencintai
sepihak seperti ini. Tidak merasakan sakitnya penolakan.
Satu hari, dua hari, tiga hari
berlalu. Dan aku dengan setia bertugas sebagai pemandu wisata baginya. Ia
tampak bersemangat dan menyukai perjalanan kami mengelilingi kotaku. Lelahku
terbayar melihat senyumnya. Sudut kakiku yang berdenyut tak ku hiraukan, aku
hanya ingin terus melangkah bersamanya. Hari-hari terasa berlalu dengan cepat.
Ia selalu berterima kasih untuk menutup hari, dan tidak lupa menanyakan kapan
ia bisa memandang indahnya pohon yang ia inginkan beberapa hari lalu.
Hari keempat, pagi-pagi sekali
saat ia belum bangun aku menyambar sepedaku dan bergegas ke kampus untuk
mengamati bunga angsana berguguran. Beruntungnya aku, dari radius beberapa
meter sebelum memasuki kampus, wangi bunga sudah menyerbu memasuki indra
penciumanku. Kali ini tidak salah, bunga angsana akan berguguran dengan
indahnya. Ini saatnya aku akan memperlihatkannya pada sahabatku. Kubelokan
sepedaku kembali ke rumah.
Ia masih terlelap. Kulihat rambut
nya jatuh di dahi. Kusingkirkan perlahan agar tak menghalangi mata. Perlahan
matanya terbuka.
“Aaaa..mmm.. selamat pagi” kaget
dan sedikit tergagap mendapatinya tiba-tiba terbangun saat aku menyentuh
rambutnya.
“Apakah aku sudah cukup
menunggu?” kata itu yang ia ucapkan pertama kali. Hihihi. Aku yakin ia sangat
ingin melihat pohon itu lagi, sampai terbawa mimpi.
“Ya, siap-siaplah. Sekarang
saatnya”
Seperti yang kubayangkan. Begitu
hendak masuk pelataran kampus. Aku melihat ia menghirup nafas panjang, terpejam
sesaat, dan tersenyum. Aku yakin wangi bunga itu sudah mulai menghipnotisnya.
Membuatnya relax dan bahagia. Kami berboncengan memasuki area kampus. Di tempat
yang sama. Seperti empat hari lalu. Kami kembali terdiam di depan pohon
angsana. Dengan pemandangan yang sungguh berbeda.
“Benar katamu. Ini jutaan kali
lipat lebih indah dari sebelumnya”. Saat itu di matanya terpancar binar takjub.
Ia hanya memandang pohon itu. Memandangi jatuhnya kelopak bunga angsana yang
terbawa angin dengan anggun seperti rinai hujan sakura, sakura kuning kataku.
Menikmati suasana itu. Suasana syahdu berdua hanya aku dan dia. Aku mengalihkan
pandanganku pada tangannya yang terkulai di samping kaki. Tangan yang amat
menggoda untuk kugenggam dengan lembut. Tergetar aku mendekatkan tanganku
padanya.
“Terima kasih, Alena”
Aku terkesiap. Ia terlebih dahulu
menggenggam tanganku. Tidak sepatah katapun keluar dari bibirku setelahnya. Aku
terpana memandangi tanganku yang digenggamnya hangat.
“Terima kasih. Kau telah
menyadarkanku bahwa menunggu untuk sesuatu yang kau yakini akan indah pada
waktunya sungguh luar biasa rasanya”
Kali ini aku tidak bisa
membedakan sama sekali subjek apa yang ia maksudkan dari pernyataannya barusan.
Walau pipiku bersemu merah, aku sangat yakin ia sedang membicarakan pohon
angsana yang kini berbunga sekaligus berguguran dengan indahnya di depan mata
kami.
Tidak, mata kami kini tak tertuju
pada pohon angsana itu. Tapi saling bersinggungan satu sama lain. Tatapan
matanya yang meneduh, dan genggaman tangannya yang semakin erat mampu membuatku
tergugu dan kaku bagai patung tugu pancoran.
“Maukah kamu menunggu sedikit
lebih lama lagi, Alena?” katanya dengan nada melembut,
“Menunggu?”
“Menungguku untuk tumbuh dan
mengembangkan diri hingga nanti saatnya aku akan mencurahimu dengan sesuatu
yang luar biasa indah, seperti pohon angsana itu?”
Mulutku terkunci. Aku yakinkan
bahwa pendengaranku tidak salah tangkap kali ini. Ia membicarakan tentang ku,
yang diasosiasikan dengan pohon angsana itu. Ia ...
“Aku ingin membuatmu suatu saat,
berkali lipat lebih menginginkanku dari pada hari ini. Beri aku waktu untuk
itu” Ia mendekatkan tubuhnya, mengelus lembut kepalaku.
Aku ingin menangis meraung-raung,
jika saja tidak ada satu dua orang yang sesekali lewat disekitar kami.
Bresss... Tiba-tiba hujan lebat
mengguyur kampusku. Ia menarik tanganku. Bukan untuk mengiup. Kami tidak
kehujanan kala itu, karena kami sedang berdiri memandangi pohon angsana dari
balkon lantai dua gedung. Tapi kini ia menarik tanganku ke halaman terbuka.
Yang tentu saja tak beratapkan apapun, terekspos langit bercurah hujan lebat.
Kontan kami berdua basah kuyup. Kali ini ia memelukku erat.
“Kalau ingin menangis, sekarang
kamu bebas menangis”
Aku meraung sejadi-jadinya. Tidak
akan ada yang tahu aku menangis di tengah hujan lebat seperti ini bukan? Aku
menangis amat bahagia. Kenyataannya cinta yang bertepuk sebelah tangan tidak ku
alami. Ia bukannya tidak menghiraukanku. Ia ingin membuktikan bahwa suatu saat
ia akan menjadi sosok yang lebih baik dan bisa membuatku bahagia. Tapi aku
menangis lebih dalam lagi jika mengingat berapa lama waktu yang akan memisahkan
kebersamaan kita saat aku menunggunya.
Hujan berhenti tak lama kemudian.
Ia mengajakku menaiki sepeda. Kami berboncengan, masih dengan baju yang basah.
Semilir angin mengeringkan perlahan pakaian kami. Satu dua kelopak bunga sakura
kuning menempel di kulit kami. Sesampainya di rumah, ia segera berkemas. Dua
jam kemudian ia sudah tidak ada di sini.
Begitu cepatnya kebersamaan kami,
seperti mimpi rasanya.
Sesampainya ia di kota asalnya,
ia menghubungiku. Hari itu juga ia bilang akan terbang ke Amsterdam. Untuk
studi di sana. Aku menangis sejadinya, yang sudah ia duga sebelumnya. Sebelum
menutup telepon ia berkata.
“Tunggulah aku, semampumu.
Hadirkan aku selalu dalam ingatanmu. Pandangi pohon sakura kuning itu. Maka aku
akan ada di sana. Jika kau sudah lelah, kau boleh berhenti. Aku tidak bisa
memaksamu. Tapi aku akan terus berusaha”
Sejak saat itu, satu tahun dua
tahun berlalu. Saat aku lelah, aku akan berlari memandangi pohon sakura kuning
itu, mengenang semuanya. Sesekali air mata mengalir. Namun aku bahagia, karena
ia selalu hadir dalam ingatan dan hatiku bersamaan dengan jatuhnya sakura kuning
di telapak tanganku.
Aku akan menunggu.
0 comments: