motivasi

Yakinkah? Ikhlas saja.

2:47:00 PM Dee 0 Comments


Tulisan ini lebih kepada sebuah pengibaratan.

Pada suatu ketika, saya berniat menjual kalung emas saya ke sebuah toko emas. Pagi-pagi sekali berangkatlah saya ke sebuah daerah yang saya tahu disana terdapat toko emas yang berkenan membeli kalung emas saya. Saya cukup terburu-buru ke sana karena saya hari itu juga sedang memerlukan uang untuk biaya berobat adik saya.

Sesampainya saya di daerah itu, tidak disangka, toko emas tidak hanya terdapat satu, akan tetapi puluhan buah toko yang berjejer di daerah yang saya datangi hari itu.

Dengan sedikit ragu, saya datangi toko emas yang pertama yang paling mudah saya jangkau. Saya bertanya pada pemilik tokonya. Apakah toko ini menerima jual beli emas? Ya, jawab bapak penjaga toko. Lalu saya menyerahkan kalung emas saya beserta sertifikat nya kepada bapak itu untuk diuji kadarnya.

Tidak lama bapak itu kembali, dan mencoba menaksir harga emas yang akan dibayarkannya kepada saya. Untuk 5 gram emas bapak itu menghargai sebesar Rp. 160.000 (*hanya contoh, bukan harga sebenarnya). Dalam hati saya, ah! masa hanya dihargai sekian? Maka saya berusaha menawar, agar harganya dinaikan, karena saya butuh uang untuk berobat lebih banyak dari nominal  yang bapak tadi sebutkan.

Baiklah nak bapak hargai Rp. 165.000
Kata penjaga toko emas itu

Tidak bisa naik lagi pak?

Tidak bisa nak

Baiklah pak saya coba tanya dulu ke toko yang lain

Kalau Nak mau, bapak bisa memberikan harga Rp 180.000? bagaimana?

Dalam hati saya menimang, mungkin cukuplah nominal itu. Tapi sebelah hati yang lain berkata kalau harga kalung emas saya bisa lebih tinggi harganya dari penawaran bapak tadi. Maka setelah saya mengucap terimakasih dan mohon maaf saya undur diri dari toko emas pertama itu. Untuk kemudian beranjak ke toko emas lainnya.

Di toko emas berikutnya, saya juga diperlakukan sama seperti sebelumnya. Kalung emas saya diteliti dan dicek kadarnya. Kemudian ibu penjaga toko bertanya. "Nak ingin harga berapa?"

Saya kurang tau Bu, mungkin Rp.200.000?

Wah saya tidak yakin kalau segitu harganya, masalahnya kalung emas adik ini sedikit sulit untuk dijual lagi. Mungkin saya hanya akan meleburnya jika adik berkenan menjualnya pada saya. Begini, adik sudah ke toko emas sebelumnya dan mencoba menjual kalung ini?

Ya

Berapa harga yang ditawarkan penjaga toko emas sebelumnya?

Tadi saya ditawari Rp. 180.000 Bu

Saya sangsi saya bisa memberi harga diatas penjual emas sebelumnya. Saya akan menawarnya hanya cukup di angka Rp.170.000 tidak bisa lebih, Bagaimana? Sulit nak menjual perhiasan emas yang seperti ini. Percayalah saya sudah cukup berpengalaman di bidangnya.

Baik bu terimakasih akan masukannya. Saya akan coba ke toko yang lain.
Lalu saya mohon diri. Dan masih memegang keyakinan mungkin di toko emas yang lain kalung emas saya bisa dihargai lebih tinggi lagi.

Tapi nyatanya, toko emas ketiga, keempat, kelima... dst yang saya datangi memberi tanggapan seragam. Emas saya tidak bisa dijual mencapai Rp. 200.000. Semua hanya berani menawar sampai angka Rp 170.000. Saya sangat sedih kecewa dan hampir berputus asa dengan keadaan demikian.

Hari sudah semakin sore, hingga pada akhirnya saya masuk ke toko emas terakhir di ujung jalan. Sekali lagi mencoba menjual kalung emas saya. Lagi lagi tanggapannya sama. Lagi lagi saya kecewa. Tapi saya butuh uangnya hari itu juga. Sementara toko emas 15 menit lagi akan tutup, karena hari sudah menjelang gelap.

Antara bingung, terdesak, dan sedikit panik perasaan saya campur aduk di sana. Saya butuh uang Rp 200.000 tapi kalung saya hanya dihargai Rp 170.000.

Penjaga toko itu masih menunggu keputusan saya.

Tiba tiba terbersit keinginan untuk kembali ke toko pertama yang menawar kalung saya seharga Rp 180.000
Tidak apa tidak mendapat Rp 200.000 paling tidak demikianlah harga tertinggi yang saya temui di sepanjang jajaran toko emas di sini.

Namun sebelum saya melenggang meninggalkan toko itu, sang penjaga toko emas terakhir berujar.

Mba yakin akan kembali ke toko emas sebelumnya? yang menawar dengan harga lebih tinggi, sementara Mba sudah menolaknya sebelumnya? Saya berani jamin, toko emas tadi tidak akan memberi penawaran harga sebesar itu untuk yang kedua kalinya. Pasti harganya akan turun, karena Mba sudah melewatkan kesempatan yang diberikan sebelumnya.

Benar juga, pikir saya. Saya juga sudah merasa tidak punya muka untuk datang ke toko emas pertama tadi, yang dijaga oleh seorang bapak menurut saya baik dan ramah itu. Saya sungguh tidak enak hati untuk kembali ke sana lagi. Hati saya sangat kecewa saat itu juga.

5 Menit lagi toko emas akan tutup.
Penjaga toko terakhir itu mencoba membesarkan hati saya.

Begini saja mba, saya akan membeli kalung emas mba. Dan saya hargai Rp 172.500 agar mba tidak terlalu menyesal. Dan mungkin suatu hari mba bisa datang lagi ke toko ini sebagai pelanggan? Bagaimana? Tapi ikhlas loh yaa?

Perkataan itu membawa sedikit angin segar dalam hati saya. Mencoba untuk ikhlas walau tidak dapat dipungkiri betapa kecewanya saya hari itu. Akhirnya saya menjual kalung emas saya yang akan saya gunakan untuk biaya pengobatan adik saya sebesar Rp.172.500

The End



Wait wait...
Tadi diawal saya bilang ini sebuah analogi.
Cerita tersebut, kok saya jadi membayangkan tentang sebuah kegamangan manusia ketika berproses mencari pasangan hidup ya?
Anggaplah saya memiliki sebongkah cinta, dalam cerita tersebut dianalogikan sebuah kalung emas, yang akan saya tawarkan kepada seorang pemuda, dalam cerita itu toko emas.
Ya, ada banyak dan bahkan sangat banyak pilihan kemana saya akan menjajakan cinta ini. Saya coba tawarkan satu persatu. Merasa tidak sreg dengan yang satu kemudian saya tinggalkan dan beralih ke toko yang lain, dengan harapan akan diberi harga lebih tinggi di toko yang lain. Saya yakin pasti akan ada yang lebih baik, lagi dan lagi. Maka saya terus mencari. Tapi, sebuah proses pastilah terbentur waktu/deadline, waktu yang memaksa dan menekan kita untuk melepaskan hati pada akhirnya, dan suatu saat kita pasti akan kelelahan dalam proses pencarian dan kita harus berhenti.untuk memutuskan pilihan. Akan kemana akhirnya menambatkan hati ini.

Banyak diantara kita yang terlalu menetapkan standar terlampau tinggi akan sebuah hubungan. Sehingga selalu merasa kurang, tidak pernah puas akan hubungan yang telah dibina, dan terus mencari yang lebih. Trial and error. Tapi sadarkah kita, saat kita memulai sebuah hubungan yang kita fikir itu adalah sebuah sarana untuk mengecek/mengetes apakah satu sama lain cocok atau tidak dan bisa berlanjut ke tahap yang lebih serius? anggaplah ini masih tahap percobaan. Saat kita merasa ini bukanlah apa yang kita cari, dan kemudian kita meninggalkannya, sementara di pihak pasangan kita tidak merasa seperti itu, kemudian merasa kecewa karena ditinggalkan dan terluka begitu dalam? Sekali lagi sadarkah kita, saat kita berada di ujung waktu tenggang, berproses mencari yang terbaik, namun pada akhirnya tidak ditemukan apa yang sesuai ekspektasi kita dan tersadar bahwa orang yang mungkin pernah kita tinggalkan, merupakan salah satu yang terbaik, lalu kita ingin kembali padanya, berfikirlah apakah dia mau begitu saja kembali pada kita?? Kita sudah diberi kesempatan sedemikian rupa dan disiakan begitu saja? Jawabannya sangat sulit untuk "IYA", kemungkinan besar "TIDAK". Tidak mudah untuk orang yang sudah dikecewakan untuk kembali dan memaafkan kita sepenuh hatinya. Dan pada akhirnya kita akan menyesali perbuatan itu, menyiakan kesempatan baik. Teramat sangat kecewa ...Pasti.

Fine, (*tarik nafas panjang dulu...)

Tapi ini harus happy ending dongg aaahh.:p
Kalimat terakhir dari cerita di atas. Ikhlas loh yaaa???!!
IKHLAS, kunci utama kita untuk tetap tegar menerima keadaan dan terus memandang postif waktu waktu kedepan yang akan dilalui kemudian, dan merelakan untuk meninggalkan hal hal buruk dibelakang kita.
Dalam konteks lain, mungkin kita bisa mengandalkan naluri. Ya, jika datang kesempatan bagus di awal langkah kita, jika kita YAKIN itu yang terbaik, maka IKHLASlah sepenuh hati untuk menerimanya, tanpa banyak tuntutan dan keluhan lainnya. Itu saja cukup.

What a life!!


Sebelum ditutup ada sebuah kutipan,
"Menjalin hubungan dalam tahap komitmen itu harus saling menerima satu sama lain. Tidak hanya kelebihan namun juga kekurangannya. Tanpa alasan lain. Bahkan ekstremnya jika salah satu pasangan suatu ketika kecelakaan dan mendapat luka serius (*katakanlah cacat). Hal itu juga tidak bisa dijadikan alasan untuk sebuah pasangan serius untuk meninggalkannya. Jadi terimalah sepenuh hati. Ikhlas apapun keadaannya. Yakinlah itu kehidupan terbaik yang sudah didesain Tuhan untuk kita jalani"





Salam hangat
Februari_Mawar Cahaya


sumber gambar
www.punkypins.co.uk

You Might Also Like

0 comments: