cerita pendek,
Sahabat Jadi Cinta [Terbalik]
Dia tertidur. Di antara deru laju kereta listrik yang
mengantarkan kami menuju stasiun tujuan, nafasnya terhembus beraturan.
Sedang aku yang duduk bersisian dengannya masih terjaga.
Pukul menunjukan pukul 10 malam, kami sedang dalam perjalanan pulang selepas
seharian menikmati akhir pekan di ibukota.
Waktu yang terasa begitu singkat, setiap dihabiskan berdua
saja. Dengannya, membunuh waktu terasa menyenangkan, selalu menyenangkan,
terlalu menyenangkan.
Dia tampak kelelahan, ya, ku tahu akhir-akhir ini dia sering
kurang tidur karena kerja lembur. Akhir minggu yang seharusnya diluangkannya
untuk beristirahat ini malah digunakannya untuk menemaniku mengukur jalan.
Dia adalah tipe orang yang sulit untuk menolak permintaan
orang lain. Termasuk untuk menolak permintaanku kali ini, yang butuh untuk
di"temani". Bagiku, dia adalah orang yang spesial. Bukan kekasih,
kami hanya dua orang yang saling mengasihi tanpa ikatan apapun.
Sembari duduk di sampingnya, perlahan kuamati raut damai
wajahnya yang tertidur. Aku tersenyum, bahagia. Bahagia pernah memilikinya.
Namun entah mengapa di balik senyumku, ternyata perih juga rasanya.Semakin
kupandangi dirinya, semakin sakit.
Kugenggam jemarinya perlahan, tiba-tiba fikiranku terlempar
ke beberapa tahun lalu.
Dulu, kami pernah saling memadu kasih. Seperti kebanyakan
orang, kami berpacaran. Banyak hal yang sudah kami lewati bersama. Kenangan
manis, hingga berujung tragis. Aku yang terlebih dahulu mangakhiri hubungan
kami, menyakitinya. Teramat dalam.
Aku mulai berjalan menjauh, tapi ia menahanku. Ia tetap di
sana, ada menjagaku, selalu meluangkan waktu saat aku membutuhkannya. Kasihnya
hadir dengan bentuk yang berbeda : SAHABAT.
Ia mengaku tidak bisa menjauh semudah itu dariku, walauku
telah begitu dalam menyakiti hatinya. Ia tetap ada. Hingga bertahun-tahun
berikutnya ialah yang masih setia ada untukku dalam segala waktu senang dan
dukaku. Berkali-kali aku terjatuh, berkali-kali itupun aku dibangkitkan
kembali.
Waktu berlalu, menamparku begitu keras. Aku menyadari tak
ada yang mampu menyayangiku melebihi dirinya. Aku jatuh cinta untuk kedua
kalinya. Pada orang yang sama.
Namun semuanya terlambat, kala kuingat perbincangan kami
tadi sewaktu duduk berdua. Tak terasa satu persatu air mataku menetes.
Kuenyahkan rasa ke"aku"anku, ku tatap matanya, dan
memberanikan diri mengakui "aku mencintaimu, mencintai sosokmu yang selalu
ada untukku". Karena kurasa ia masih menyayangiku juga.
Naas, jawaban yang kudapat berbanding terbalik dari
harapanku. Ia menolak, bukan menolak perasaanku padanya, ia hanya menolak untuk
kembali.
Aku tertunduk, aku tahu lukanya belum sembuh, tidak akan
sembuh. Keputusannya untuk tetap bersama denganku, ku tahu membuatnya nyeri
menahun. Sebuah hubungan romansa yang berakhir, dan berubah menjadi jalinan
persahabatan tidak akan semudah itu akan berjalan manis. Yang ada malah
memperparah keadaan.
Aku sedih, lebih ke-perasaan menyesal. Menyesali diriku
sendiri yang telah begitu dalam menancapkan luka di hatinya, dulu. Terlambat,
semua tidak bisa diperbaiki. Ia tidak akan ingin untuk kembali.
Maaf, ya, dia sudah begitu rela meamaafkanku. Karena ku
tahu, selama ini ia tidak pernah marah padaku. Ia begitu baik, bahkan sangat
sulit untuk menolak semua yang kuminta padanya. Sejak saat itu aku tahu, ia
yang selalu ada untukku bukan karena cinta, hanya perhatian. Tanpa rasa. Karena
sudah tidak ada lagi rasa tersisa.
Aku masih memandanginya lamat-lamat. Saat aku ingin
memperbaiki semua, melunaskan kesalahanku padanya, tak ada lagi kesempatan
untuk kembali. Aku hanya bisa memendam perasaan ini, terlalu malu untuk
mengharap ia membalas yang sama. Aku bukan yang baik untuknya.
Saat ini aku hanya bisa mendoa yang terbaik untuknya,
kebahagiaannya. Biarlah sakit ini kurasa, kunikmati.
Ia terbangun, oleh pengumuman voice over kereta listrik
bahwa kami sudah sampai di stasiun tujuan. Terkaget ia menarik tanganku keluar
gerbong kereta. Ia baru sadar ada bekas air mata mengering di pipiku.
"Kamu kenapa?" tanyanya masih setengah tersadar.
"Tidak apa-apa, sedang ingin menangis" jawabku.
Tak ada tanggapan, ia hanya tersenyum. Senyum sederhana yang
memaksaku untuk menangis lagi. Ia tidak menyuruhku untuk berhenti menangis
ataupun menenangkan. Ia tahu betul bagaimana rasanya. Ia membiarkanku dengan
isak tangisku, di stasiun. Kala itu.
Kami masih menjadi dua orang yang saling mengasihi, walau
sama-sama memendam sakit. Kami masih bisa berbagi bahagia, dengan bentuk yang
berbeda. Entah apalah rasanya. Kami memilih bertahan untuk saling menemani.
1 comments: