cerita pendek

Birunya Laut, Jingga Kala Senja

6:02:00 PM Dee 2 Comments



15 tahun lalu, seorang bayi bermata biru ditemukan mengapung-apung di tepian pantai laut Sengigi. Bapak tua pencari ikanlah yang menemukannya dan menyelamatkannya dari rasa dingin yang teramat sangat. Kala itu hari masih amat dini, udara masih membeku. Kala itu pula bapak tua baru pulang mengumpulkan ikan dari samudra maha luas, dan begitu terkejutnya ia ketika mendapati sesosok bayi yang cantik jelita sedang menangis meraung-raung di atas sampan kecil menepi di pantai.

          Ia timang dengan sayang, merapatkan ketubuhnya memberi rasa hangat pada bayi itu. Bapak tua merasa iba melihatnya yang tak jua berhenti menangis. Kulitnya keriput, seluruh tubuhnya dingin sedingin es, tangisannya pilu mengiris hati. Bayi ini keadaannya sangat menyedihkan, mungkin jika tidak segera ditemukan ia akan segera kehilangan nyawanya karena kedinginan dan kelaparan. Lagi-lagi bapak tua merasa iba. Saat ia menatap matanya yang mengerjap-ngerjap memancarkan perasaan menyentuh yang dalam, bapak tua itu seketika seperti dibelai oleh kedamaian dan kesejukkan. Ia memutuskan membawa pulang bayi jelita itu, merawat dan membesarkannya sebagaimana anaknya sendiri. Bayi itu memiliki mata biru, sebiru lautan luas.

          Bayi itu adalah aku. Kakek yang telah membesarkan ku hingga kini aku berusia 15 tahun. Beliau memberiku nama Biru. Tidak lain karena memang mataku yang berwarna biru, dan pada saat aku ditemukan aku sedang berada di tepi pantai ditemani air laut yang biru.

          Aku tumbuh menjadi gadis desa yang biasa-biasa saja, lebih cenderung pendiam dan gemar menghabiskan waktu di tepi pantai. Bersenda gurau dengan deburan ombak dan berbagi tawa dengan kerang-kerang juga kepiting, serta menyapa langit berwarna jingga kala sore menjelang.

          Sore itu adalah soreku yang ke sekian ribu. Air mataku bercampur dengan air laut yang asin. Aku selalu menghabiskan sore kelabuku di sana, tempat favoritku untuk berkeluh kesah. Entah sudah berapa kali aku disakiti oleh teman-teman lelaki yang mengaku menaruh perasaan padaku, yang selalu berakhir penderitaan dan pengkhianatan, dan selalu aku yang harus menjadi korbannya.

          Aku meremas pasir basah di samping lututku, mengepalkannya, dan melemparkan jauh-jauh ke arah laut. Aku melihat laut yang teramat luas berwarna biru gelap, serupa dengan warna mataku yang masih juga menitikkan air mata.

          Aku marah, emosi, perih. Mereka, para lelaki itu selalu berkata aku ini memiliki mata yang misterius seperti monster. Mereka selalu berkata seperti itu, untuk menjatuhkan harga diriku dan meninggalkanku. Mereka tidak pernah mengerti bahwa jika sudah menyangkut perasaan aku tidak akan main-main. Tapi apa balasan yang ku dapat? Ejekan, cemoohan, rasa sakit. Aku tidak pernah benar-benar dicintai oleh lelaki itu. Aku sangat sedih dan kian membiru setelahnya. Aku membenci warna biru, dan aku membenci mataku yang membuat mereka berkata, aku ini seperti monster.

          Aku tengadahkan mataku menahan tangis dari sudutnya agar tidak lagi menetes ke pipi. Aku berdiri, menghirup nafas perlahan, kemudian menatap lurus matahari yang kini ditelan lautan. Senja itu berwarna jingga, kini ia bergradasi dengan biru kelam lautan. Hari berganti malam.

          Aku berada di antara teman-teman sepermainan ku sekarang. Aku menekuk lutut di sudut ruangan. Mereka asik bermain pistol-pistolan, kuda-kudaan, sedang aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut bergabung. Aku masih juga membiru dengan mereka, dengan perasaanku.

          Aku masih menatap mereka satu persatu, diantara teman-teman sepermainanku, ada satu, dua, tiga, empat teman lelaki yang pernah melukai perasaanku. Seketika emosiku memuncak.

          Aku berdiri dan menggenggam sebuah gunting jahit. Aku meremasnya masih sambil menatap mereka. Lantas aku berteriak sekuat-kuatnya, mereka berbalik menatapku. Ya hanya menatap padaku. Dengan dibantu tangan kiriku aku mengarahkan gunting itu ke arah bola mataku. 

Tatapan mereka berubah menjadi teriakan histeris, sebagian berlari menjauhiku, sebagian lagi menutup mata dan menangis.
Saat itu puncaknya emosiku terlampiaskan. Aku mencungkil mata biru ku keluar dengan sebilah gunting. Darah merembes ke mukaku. Rasa sakit di mataku tidak juga mengalahkan rasa sakit di hatiku. Rasa sakit anak yang direndahkan dan tak pernah dihargai. Namun di sudut lain hatiku merasa amat puas akan tindakanku baru saja.

          Aku mengarahkan gunting tadi ke arah mata ku yang satunya. Namun sebuah tangan menahanku. Setelahnya aku tidak lagi mengingat apapun. Karena yang kulihat hanya kegelapan. Hitam. Bukan biru. Hahaha, rasanya kini aku merasa lebih tenang dengan kegelapan. Dengan HITAM.


          Entah sudah dua atau tiga hari aku tidak sadarkan diri. Perban melilit di seputar kepalaku. Aku melihat kakek tertidur di kursi rotannya. Ia selalu menemaniku. Ya, hanya dia yang dengan tulus mampu menyayangiku dengan sepenuh hatinya, tidak ada lagi yang lain. Ku rasakan mataku masih nyeri sekali, namun hatiku masih jauh lebih nyeri lagi rasanya.

          Aku menyibakkan selimutku, dan perlahan menjejakkan kaki ke lantai. Kakek menyadari aku sudah siuman, ia segera menopang berat tubuhku yang masih limbung. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang teramat sangat.

          Namun aku berkata,
          "Kek, aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin ke pantai"

          Kakek menatap sisa mataku yang masih utuh, ia memandangnya sejenak, seolah mencari jawaban dari sana. Lalu ia tersenyum dan mengangguk tanda restu.
          Senja kesekian ribu bagiku.
Perasaan ku tidak lagi membiru. Namun sudah gelap menghitam. Aku benci hidupku, aku benci pantai ini, aku benci birunya lautan, aku benci birunya langit, aku benci telah dilahirkan di dunia.

          Pelan aku menyusuri tepian pantai, namun lama-kelamaan semakin ke tengah. Permukaan air semakin dalam, hampir sedadaku. Aku merasa dinginnya air laut, turut andil mendinginkan perasaanku. Apa beginikah kedamaian itu rasanya? Kalau begitu aku ingin menyatu saja dengan lautan. Aku berjalan semakin ke tengah.

          Tiba-tiba sebuah tangan terulur, menggenggam pasti tanganku dan menyeretku hingga ketepian. Tentu saja aku marah padanya.

          "Apa yang kau lakukan? Aku ingin mengakhiri hidupku dan kau malah mencegahnya. Apa urusanmu? Aku benci semua hal, aku benci padamu walau aku tak pernah mengenalmu"

          "Biru, ternyata benar ini kamu. Aku mencari-carimu kemana-mana. Kakekmu bilang kamu ke pantai. Jadi aku menyusulmu ke sini"
Ia memelukku erat sekali. Pria ini, siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba datang dan menggagalkan kematianku? Sungguh tidak sopan.

          "Biru, apa yang kau lakukan? Bunuh diri? Apa kau tidak menyadarinya bahwa hidupmu berharga, apa kau tidak sadar..."

          "Aku sadar semua membenciku. Aku sudah teramat sakit, aku hanya ingin menyudahinya"
Aku tidak menangis kala itu, tekadku sudah kuat untuk mengakhiri kehidupanku sore itu juga.

          "Dengarkan aku. Tidak semua orang membencimu. Kakekmu. Kakekmu sangat mencintaimu. Hidupmu sangat berarti. Apa yang kau benci? Dirimu sendiri? Dirimu tercipta begitu indahnya di dunia ini. Matamu yang biru menyimpan kedalaman perasaan yang tidak bertepi dan aku langsung jatuh cinta begitu pertama kali menatapnya di tepi pantai kala itu. Jika kau merasa hidupmu tidak berarti, paling tidak kehadiranmu berarti banyak untukku. Aku merasa damai dan tenang kala menatap birunya matamu. Mengapa kau berusaha meniadakannya?? Untung masih bisa diselamatkan yang satu lagi. Biru, bagiku kamu itu amat berharga. Tetaplah hidup. Aku berjanji akan selalu ada untukmu, dan melindungimu"

          "Apa-apaan! Aku bahkan tidak pernah mengenalmu"

          "Itu tidak penting. Matamu telah berbicara banyak tentangmu. Tiap aku menatapmu sore hari di pantai ini, aku seakan mendengarkanmu menceritakan seluruh kisah hidupmu. kepiluanmu, perasaanmu, semua rahasia tentangmu. Mungkin kau tidak pernah menyadari kehadiranku. Tapi aku berusaha selalu ada untukmu"

          "Selalu ada? Oooh, jadi selain kamu telah menyeretku dari tengah laut tadi, kamu juga yang menahan tanganku saat aku ingin mencungkil mataku kan??"

          Aku melotot ke arahnya dengan satu mata biruku yang tersisa, menatap lurus mata coklatnya. Ia hanya tersenyum. Lalu aku menatap ke arah lain dari dirinya. Oh! Aku tidak menyadarinya. Tangannya, tangan kanannya tidak ada di sana. Seharusnya tangan kanan lelaki itu menggantung di pundak tegapnya.

          Lelaki berkulit coklat jingga ini membisikkan sesuatu padaku.

          "Aku pernah juga merasa ingin bunuh diri. Aku kehilangan tangan kananku karena kecelakaan. Padahal aku seorang pembalap. Aku amat memerlukan tanganku utuh. Namun setelah amputasi, seketika hidupku musnah, hancur, aku tidak lagi ingin hidup di dunia. Balap adalah hidupku, dan aku telah kehilangannya karena ini"

Ia mengangkat tangan buntungnya. Masih tersenyum.

          "Setahun lalu, aku ke pantai ini untuk menenangkan diri. Sampai pada suatu hari aku sangat ingin mengakhiri hidupku. Namun aku melihat sesosok gadis yang sendiri menikmati senja, bermain dengan buih laut, begitu menikmati dunianya, ia menatap laut biru dengan mata birunya yang mempesona. Biru matanya begitu menyatu dengan suasana pantai kala senja. Gadis itu menyadarkanku bahwa hidup ini berharga, hidup  penuh dengan kebahagiaan. Dan mata biru itu memberiku semangat untuk menjalani hidupku yang baru"

          Aku masih terdiam dan membiarkan ia memelukku lagi.

          "Terimakasih Biru. Tetaplah hidup untuk menemaniku menghadapi dunia. Kamu pasti bisa beriringan denganku menjalani hari-hari yang kian berganti sampai akhir nanti"

          Aku mengendurkan pelukannya. Aku balik menatap iba padanya. Tidak-tidak...bukan hanya iba, tapi timbul perasaan hangat di dadaku. Pria ini mampu mencairkan perasaan beku di dadaku. Aku membalas senyumnya, Senyum penuh ketulusan yang lahir dari dalam lubuk hatiku terdalam, padanya. Kami masih di sana, kemudian ia menggenggam tanganku, menuntunnya ke arah rumahku. Pulang.

          Senja itu menjadi latar kami. Menemani kami mengganti hari menjadi malam. Memberi semangat baru. Langit yang jingga dan laut yang biru terpisah oleh sebuah garis tengah, namun perlahan kedua elemen warna itu melebur, menjadi sebuah gradasi senja yang indah.

          "Kalau boleh ku tahu, siapa namamu?"

          "Namaku JINGGA" 





sumber gambar: 
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=9&jd=Kau+Berkata+Tentang+Senja&dn=20080425102411

2 comments: