cerita pendek

Memorabilia Sakura Kuning

6:31:00 PM Dee 0 Comments

Dia ingin itu. Hanya itu. Pertama kali ia datang, ia jatuh cinta. Langsung dan tertuju padanya. Ia hanya ingin itu, pohon angsana yang kami lihat bersama saat liburan semester lalu.
November lalu, pohon angsana berbunga kuning bermekaran di komplek kampusku. Katanya jika pohon angsana berbunga dan kelopaknya berguguran, tandanya sebentar lagi akan datang musim penghujan. Ya, gugurnya kelopak bunga angsa kuning yang cantik adalah pertanda awal musim penghujan di kota ku. Kala saat itu tiba, semua orang akan dengan sukacita mengabadikan panorama alam indah itu dengan kamera mereka. Wangi semerbak bunga bercampur aroma udara lembab dan basah menyergap di setiap sudut. Kelopak bunga yang berjatuhan satu persatu lama kelamaan melimpah jumlahnya dan membanjiri setiap sudut kampus. Seketika kampusku tertutup selimut warna kuning cerah kelopak bunga angsana. Indahnya tidak kalah dengan hujan bunga sakura di negri matahari terbit. Memang, saat pohon ini sedang giat memamerkan keindahannya, kami seakan terhipnotis dan sekejap merasa seakan berada di luar negri. Bukan di Indonesia. Aku amat menyukai saat itu. Terutama saat aku memandangi indahnya fenomena keindahan alam itu bersamanya.
November lalu pula, ia yang biasanya berada beratus kilo meter jauhnya dari tempatku tinggal, kini ada di sini. Saat liburan semester ia berencana mengunjungiku. Sahabatnya yang sudah lama tidak ia temui, tidak ia tanyakan kabar beritanya, tidak ia ajak bicara, tidak ia fikirkan /mungkin. Mungkin hanya aku yang menganggap ia sebagai teman dekat, tidak dengannya. Kadang sesak sekali di dada kala mengingat kebersamaan masa kecil kita dulu yang begitu menyenangkan. Satu kali lagi, ia mungkin sudah melupakan hal itu.
Sudah 10 tahun lewat, kini kita bertatap mata lagi, bersentuh jabat tangan lagi, bertukar pembicaraan lagi. Dan secara sederhana, aku bahagia. Rinduku telah terobati oleh kehadirannya.
Ia sama sekali berubah. Secara fisik, tingginya menjulang. Matanya semakin bijak memandang. Dan tentu suaranya menjadi semakin berat. Kalau saja aku tidak bisa menahan diri, mungkin aku sudah berloncatan memeluknya. Dia tersenyum, dan mengajakku berjalan mengelilingi kota ini. Ku ajak ia mengitari area kampus untuk melihat hujan sakura kuning, pikirku.
“Hari ini cerah, tidak hujan. Memang sedikit mendung. Mengapa kamu bilang akan mengajakku melihat hujan?” tanyanya.
“Hujan yang lebih indah dari yang biasa” kataku.
Angsana masih terlalu dini untuk berguguran mengguyur kampusku dengan kelopak kuningnya. Mungkin aku salah mengambil waktu. Kami diam bersisian memandang pohon itu dari lantai dua gedung kampusku. Dia memandang lurus ke depan. Tepat ke pohon angsana yang sudah mulai berbunga.
“Aku ingin dia,” ujarnya.
“Dia?” tanyaku keheranan.
“Pohon itu. Indah, teduh, dan anggun sekali. Kalau saja aku bisa membawanya ke kota ku. Pasti aku akan sangat bahagia,” jawabnya.
“Kau akan berkali lipat menginginkannya beberapa saat lagi. Maukah kau tinggal beberapa hari lagi di sini?” aku menatapnya yang belum balas menatapku balik. Aku ingin dia lebih lama lagi di sini, berbagi kebersamaan lagi seperti dulu denganku.
“Ya, aku akan menunggu untuk bisa lebih jatuh cinta lagi,”
Aku bersemu mendengar jawabannya. Walau yang ia maksud adalah pohon itu. Tapi entah mengapa aku mengasosiakan kata-katanya itu dengan diriku. Mungkin aku sedikit naif untuk mengakui sudah sekian lama aku menganggapnya lebih dari sekedar sahabat kecil. Aku menyukainya. Tidak aku mencintainya. Aku hanya takut mengakuinya, dan mendapati kenyataan kalau aku bukanlah siapa-siapa baginya. Lebih menyenangkan mencintai sepihak seperti ini. Tidak merasakan sakitnya penolakan.
Satu hari, dua hari, tiga hari berlalu. Dan aku dengan setia bertugas sebagai pemandu wisata baginya. Ia tampak bersemangat dan menyukai perjalanan kami mengelilingi kotaku. Lelahku terbayar melihat senyumnya. Sudut kakiku yang berdenyut tak ku hiraukan, aku hanya ingin terus melangkah bersamanya. Hari-hari terasa berlalu dengan cepat. Ia selalu berterima kasih untuk menutup hari, dan tidak lupa menanyakan kapan ia bisa memandang indahnya pohon yang ia inginkan beberapa hari lalu.
Hari keempat, pagi-pagi sekali saat ia belum bangun aku menyambar sepedaku dan bergegas ke kampus untuk mengamati bunga angsana berguguran. Beruntungnya aku, dari radius beberapa meter sebelum memasuki kampus, wangi bunga sudah menyerbu memasuki indra penciumanku. Kali ini tidak salah, bunga angsana akan berguguran dengan indahnya. Ini saatnya aku akan memperlihatkannya pada sahabatku. Kubelokan sepedaku kembali ke rumah.
Ia masih terlelap. Kulihat rambut nya jatuh di dahi. Kusingkirkan perlahan agar tak menghalangi mata. Perlahan matanya terbuka.
“Aaaa..mmm.. selamat pagi” kaget dan sedikit tergagap mendapatinya tiba-tiba terbangun saat aku menyentuh rambutnya.
“Apakah aku sudah cukup menunggu?” kata itu yang ia ucapkan pertama kali. Hihihi. Aku yakin ia sangat ingin melihat pohon itu lagi, sampai terbawa mimpi.
“Ya, siap-siaplah. Sekarang saatnya”

Seperti yang kubayangkan. Begitu hendak masuk pelataran kampus. Aku melihat ia menghirup nafas panjang, terpejam sesaat, dan tersenyum. Aku yakin wangi bunga itu sudah mulai menghipnotisnya. Membuatnya relax dan bahagia. Kami berboncengan memasuki area kampus. Di tempat yang sama. Seperti empat hari lalu. Kami kembali terdiam di depan pohon angsana. Dengan pemandangan yang sungguh berbeda.
“Benar katamu. Ini jutaan kali lipat lebih indah dari sebelumnya”. Saat itu di matanya terpancar binar takjub. Ia hanya memandang pohon itu. Memandangi jatuhnya kelopak bunga angsana yang terbawa angin dengan anggun seperti rinai hujan sakura, sakura kuning kataku. Menikmati suasana itu. Suasana syahdu berdua hanya aku dan dia. Aku mengalihkan pandanganku pada tangannya yang terkulai di samping kaki. Tangan yang amat menggoda untuk kugenggam dengan lembut. Tergetar aku mendekatkan tanganku padanya.
“Terima kasih, Alena”
Aku terkesiap. Ia terlebih dahulu menggenggam tanganku. Tidak sepatah katapun keluar dari bibirku setelahnya. Aku terpana memandangi tanganku yang digenggamnya hangat.
“Terima kasih. Kau telah menyadarkanku bahwa menunggu untuk sesuatu yang kau yakini akan indah pada waktunya sungguh luar biasa rasanya”
Kali ini aku tidak bisa membedakan sama sekali subjek apa yang ia maksudkan dari pernyataannya barusan. Walau pipiku bersemu merah, aku sangat yakin ia sedang membicarakan pohon angsana yang kini berbunga sekaligus berguguran dengan indahnya di depan mata kami.
Tidak, mata kami kini tak tertuju pada pohon angsana itu. Tapi saling bersinggungan satu sama lain. Tatapan matanya yang meneduh, dan genggaman tangannya yang semakin erat mampu membuatku tergugu dan kaku bagai patung tugu pancoran.
“Maukah kamu menunggu sedikit lebih lama lagi, Alena?” katanya dengan nada melembut,
“Menunggu?”
“Menungguku untuk tumbuh dan mengembangkan diri hingga nanti saatnya aku akan mencurahimu dengan sesuatu yang luar biasa indah, seperti pohon angsana itu?”
Mulutku terkunci. Aku yakinkan bahwa pendengaranku tidak salah tangkap kali ini. Ia membicarakan tentang ku, yang diasosiasikan dengan pohon angsana itu. Ia ...
“Aku ingin membuatmu suatu saat, berkali lipat lebih menginginkanku dari pada hari ini. Beri aku waktu untuk itu” Ia mendekatkan tubuhnya, mengelus lembut kepalaku.
Aku ingin menangis meraung-raung, jika saja tidak ada satu dua orang yang sesekali lewat disekitar kami.
Bresss... Tiba-tiba hujan lebat mengguyur kampusku. Ia menarik tanganku. Bukan untuk mengiup. Kami tidak kehujanan kala itu, karena kami sedang berdiri memandangi pohon angsana dari balkon lantai dua gedung. Tapi kini ia menarik tanganku ke halaman terbuka. Yang tentu saja tak beratapkan apapun, terekspos langit bercurah hujan lebat. Kontan kami berdua basah kuyup. Kali ini ia memelukku erat.
“Kalau ingin menangis, sekarang kamu bebas menangis”
Aku meraung sejadi-jadinya. Tidak akan ada yang tahu aku menangis di tengah hujan lebat seperti ini bukan? Aku menangis amat bahagia. Kenyataannya cinta yang bertepuk sebelah tangan tidak ku alami. Ia bukannya tidak menghiraukanku. Ia ingin membuktikan bahwa suatu saat ia akan menjadi sosok yang lebih baik dan bisa membuatku bahagia. Tapi aku menangis lebih dalam lagi jika mengingat berapa lama waktu yang akan memisahkan kebersamaan kita saat aku menunggunya.
Hujan berhenti tak lama kemudian. Ia mengajakku menaiki sepeda. Kami berboncengan, masih dengan baju yang basah. Semilir angin mengeringkan perlahan pakaian kami. Satu dua kelopak bunga sakura kuning menempel di kulit kami. Sesampainya di rumah, ia segera berkemas. Dua jam kemudian ia sudah tidak ada di sini.
Begitu cepatnya kebersamaan kami, seperti mimpi rasanya.
Sesampainya ia di kota asalnya, ia menghubungiku. Hari itu juga ia bilang akan terbang ke Amsterdam. Untuk studi di sana. Aku menangis sejadinya, yang sudah ia duga sebelumnya. Sebelum menutup telepon ia berkata.
“Tunggulah aku, semampumu. Hadirkan aku selalu dalam ingatanmu. Pandangi pohon sakura kuning itu. Maka aku akan ada di sana. Jika kau sudah lelah, kau boleh berhenti. Aku tidak bisa memaksamu. Tapi aku akan terus berusaha”
Sejak saat itu, satu tahun dua tahun berlalu. Saat aku lelah, aku akan berlari memandangi pohon sakura kuning itu, mengenang semuanya. Sesekali air mata mengalir. Namun aku bahagia, karena ia selalu hadir dalam ingatan dan hatiku bersamaan dengan jatuhnya sakura kuning di telapak tanganku.
Aku akan menunggu.


0 comments: