cerita pendek,
BERSAMA MERAJUT ASA, MERAIH MIMPI
Eh, apa itu? Apa yang lagi kamu
corat-coret di atas kertas? Asik sekali rupanya?"
Sahabatku Laura dengan “seenaknya”,
tiba-tiba masuk dan menganggetkan ku dengan pertanyaan ceriwis sekaligus
kekanak-kanakannya walau usianya sudah menginjak kepala-2 tahun ini, sesuai
dengan karakter anak tunggal perempuan di keluarga kaya yang sangat dimanja.
"Mau tahuuu saja sih.
Weee...."
Dengan sigap aku tarik kertas itu dan
merapatkannya di depan dada agar tak terbaca olehnya.
"Aaah...Maudy,
kok begitu sih? Pake rahasia-rahasiaan segala. Aku mau lihat dooong"
Sambil sedikit merajuk dan memonyongkan
bibirnya bak ikan mas koki kelaparan ia mencoba menarik kertas itu. Tapi sebisa
mungkin aku menghindar, hingga terjadilah adegan kejar-kejaran mirip film india
di kamarku yang tidak terlalu luas ini.
Entah
berapa lama kami terlibat baku hantam dalam rangka memperebutkan secarik kertas
putih yang aku sembunyikan darinya, tiba-tiba perasaan lelah dan letih mendera,
dan akhirnya kami menjatuhkan diri di atas matrasku yang empuk. Kami saling
berpandangan, dan tersenyum, lantas tertawa bersamaan. Ya, kami adalah sahabat
baik. Ia sudah terbiasa masuk rumahku, kemudian menggrebek kamarku tanpa
permisi, begitu pun sebaliknya dengan aku. Kami mulai dekat 5 tahun lalu sejak
ia pindah ke komplek ini. Tempat tinggalnya di depan rumah ku persis. Walaupun
ia gadis yang manja, tapi ia manis dan tulus, dan aku sangat suka berteman
dengannya.
Setelah kami berdua puas tertawa
bersama, lalu kami saling berpandangan, hmmm lebih tepatnya melotot.
"Ngapain
sih, Lo. Mau tau aja urusan orang!"
"Biasanya
juga kan kamu kasih tau aku semuanya. Gak ada rahasia-rahasiaan antara kita
kan?"
Kali ini air mukanya dibuat bak anak
kucing yang minta susu ke ibunya, berkaca-kaca, imut banget. Aku jadi gak tega
dan melunakan nada bicaraku.
"Laura,
ini loooh, aku lagi buat peta hidup"
Aku sodorkan kertas putih tadi padanya.
Dia cuma bisa manggut-manggut.
"Ini
apa sih? Kok ruwet banget banyak garisnya?"
Aku terpingkal melihat ekspresi
wajahnya yang mencoba meneliti baris demi baris kalimat yang kubuat di atas
kertas itu dengan garis-garis banyak melintang di sana-sini.
"Peta
hidup itu apa?" Tanyanya lagi, masih dengan nada polos khas anak-anak.
Lalu dengan sabarnya, bak guru TK yang
sedang mengajar anak muridnya berhitung aritmatika aku menjelaskan padanya.
"Peta
hidup itu adalah rancangan masa depan yang kita buat untuk menjadi guideline dalam hidup kita. Masa depan
itu memang Tuhan yang menentukan tapi manusia bisa berencana. Nah, biar masa
depanku terarah dan jelas aku buat peta hidup lengkap dengan strategi
pencapaiannya yang kutulis di kertas ini, Anak manis…"
"Aaa...I see, kamu prepare banget ya menata masa depanmu?"
"Iya
dong. Lah kalo gag dirancang dari sekarang. Mau dibawa kemana hidup kita?”
Sambil
mendendangkan lagu yang sedang nge-hits
dari salah satu band terkenal Indonesia, ia kemudian merengut seraya menjawil
pinggangku, namun aku berhasil menghindar. Kemudian dia mencoba menggelitikku, kali
ini aku pasrah menerima perlakuannya, dan kita tertawa bersama lagi. Menikmati
momen-momen indah itu, bersama.
5
Tahun kemudian.
"Selamat
ya Maudy untuk kelulusannya"
Laura menjadi orang pertama yang
menjabat tanganku saat kelulusan S1 ku.
Aku bahagia sekali dia ada di sana.
7
Tahun kemudian
"Maudy,
kamu harus traktir aku. Katanya kamu berhasil dapat pekerjaan di Kota? Selamat
ya...Sukses!"
Laura memelukku erat saat pengumuman
seleksi pegawai di salah satu Institusi yang aku pilih. Aku merasa dapat
dukungan yang luar biasa dari sahabatku untuk menjalani hari-hari pertama
berkarirku saat itu juga.
9
Tahun kemudian
"Maudy,
aku berat melepasmu, tapi aku bangga kamu bisa mendapat beasiswa meneruskan S2
di Negara yang sudah lama menjadi impianmu. Semangat ya Sahabat, aku akan
selalu ada untukmu"
Ia menangis di lenganku saat aku
memutuskan untuk mengambil beasiswa yang ditawarkan oleh kantorku sekaligus
membuka jalan untuk meraih impian terbesarku, pergi ke Perancis, dan Laura. Dia
ada di sana.
10
Tahun kemudian
Sambungan langsung internasional
"Maudy,
selamat ulang tahun ya, Sayang. Aku bahagia kamu rupanya menjalani studimu
dengan lancar di sana. Aku rindu.."
Setahun kami berpisah dan ia
menelponku. Kami berbincang langsung dan panjang lebar. Saling melepas rindu.
Ia masih memberiku semangat. Ia masih ada.
11
Tahun kemudian
"Selamat
atas dibukanya toko cokelatmu yang baru. Aku akan menjadi pelanggan paling
setia seumur hidupku. Janji! Sukses ya dalam hidupmu selalu"
Ia menyunggingkan senyum termanisnya
saat duduk di sampingku dalam acara soft
opening toko cokelat yang mulai kurintis di Kota ini. Ya, ia masih setia.
12
Tahun kemudian
"Akhirnya
kamu menikah dan menemukan pasanganmu yang tepat. Maudy, aku turut berbahagia
atas hari ini. Selamat menempuh hidup baru Sahabat"
Ia
menggenggam tanganku kemudian memelukku erat, dapat kurasakan air mata mulai
mengalir di pipi putihnya. Ia selalu ada untukku, selama ini ia selalu
mendukungku untuk menemukan puzzle-puzzle kehidupannku. Ya, bagiku, hidup ini
adalah sebuah perjalanan menemukan puzzle-puzzle mimpi kita yang tercecer. Kita
harus sabar mencari serpihan puzzle itu satu-persatu dengan penuh perjuangan
dan pengorbanan. Aku rasa aku sudah melewati masa-masa itu semua dan telah
menemukan puzzleku satu-persatu. Hingga suatu saat aku akan merasa utuh dengan
terlengkapinya puzzle kehidupanku dan akhirnya aku akan menemukan gambaran
sempurna tentang diriku sebenarnya. Jati diriku yang terbentuk karena
impian-impian kecil yang kuraih hingga menjadi suatu kesatuan hidupku yang
besar. Dan itu berkat dukungan penuh seorang sahabat setiaku, Laura.
Aku
menyadari sekarang. Aku balas memeluknya lebih erat lagi. Laura. Ia lah pecahan
puzzle terbesar yang kucari-cari selama ini. Ia yang melengkapiku, ia lah yang
membuat gambaran hidupku lebih sempurna. Ia sahabatku yang terbaik, teman setia
sepanjang perjalananku menemukan mimpi-mimpiku. Di saat-saat sebelum kami
berpisah dan aku mulai melangkah dengan kehidupan baruku. Sahabatku yang sedari
dulu aku selalu menganggapnya kekanakan, kini ia berkata dengan pasti, yang
kemudian membuat ku menangis haru, bahwa ia sejatinya lebih dewasa dari yang
kuduga.
"Maudy, Aku mengucapkan selamat.
Kau berhasil sampai di titik ini. Tidak tersesat karena kau patuh pada peta
hidup yang kau buat dulu. Mimpi-mimpimu satu persatu sudah kau raih. Kalau kau
tahu, dulu, sejak aku membaca peta hidupmu 12 tahun silam. Aku juga lantas membuat
peta hidup yang sama dengan capaian tertinggiku yang teramat sederhana, aku
ingin mewujudkan mimpi-mimpimu"
0 comments: