cerita pendek
Dalam ketakutan, bayanganmu selalu menguatkan langkahku memperbaiki diri. Dulu, aku hanyalah seorang pecundang yang tak berani menatap dunia. Namun lihatlah Amanda, sekarang ini aku menjadi orang yang teguh berdiri di atas kakinya. Yang siap menghadapi kemungkinan apapun sekalipun terburuk dalam hidup. Itu karena kamu, sosokmu yang meski jauh dan tak teraih, selalu memberi semangat. Hidupmu senantiasa hidup dalam hidupku.
Akhirnya,...
KALI KEDUA | Raisa (Fiction Story) by MawarCahaya
Jika wangimu saja bisa memindahkan duniaku
Maka cintamu pasti bisa mengubah jalan hidupku
Cukup sekali saja aku pernah merasa betapa menyiksa
kehilanganmu
Kau tak terganti kau yang selalu kunanti takkan kulepas lagi
Pegang tanganku bersama jatuh cinta
Kali kedua pada yang sama
Jika senyummu saja bisa mencuri detak jantungku
Maka pelukanmu yang bisa menyapu seluruh hatiku
Cukup sekali saja aku pernah merasa betapa menyiksa
kehilanganmu
Kau tak terganti kau yang selalu kunanti takkan kulepas lagi
Pegang tanganku bersama jatuh cinta kali kedua pada yang
sama
Jatuhkan hati, tanpa peduli
Kedua kali kita bersama lagi
Cukup sekali saja aku pernah merasa begitu menyiksanya
kehilanganmu. Ya, cukup sekali saja.
Dahulu. Duniaku seakan terbalik saat menyadari semuanya harus
berakhir, tak ada lagi cahaya harapan untukku, aku begitu kehilangan arah. Tak
tahu kemana akan melangkah. Seluruh sendi seakan lumpuh, seluruh indra mati
rasa. Bahkan bernafaspun sulit, saat mengingat kepergianmu.
5 tahun lalu. Kursi taman ini menjadi saksi bisu perpisahan
kita. Perpisahan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya akan terjadi. Sore
mendung kelabu itu, bibirku gemerutuk. Tak mengerti harus berkata apa saat kau
ucapkan pisah. Akupun tak mengerti salahku apa, hingga kau berniat mengakhiri
hubungan ini.
“Kau terlalu baik untukku”
begitu katamu, yang terdengar sebagai
kata-kata yang amat klise di telingaku.
“Aku tidak mengerti apa yang kamu bilang” masih dirundung
bingung aku mengatakan itu padanya.
“Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Yang jelas aku sudah
tidak berniat melanjutkan hubungan kita. Karena kurasa hubungan kita ini tidak
maju kemana-mana. Aku yang merasa bukanlah orang yang tepat menjadi
pendampingmu. Kamu pantas mendapat yang lebih baik” katanya tanpa berani
menatap mataku.
Akupun sebenarnya tidak mampu menatap wajahnya, karena rasanya
begitu menyakitkan memandangnya sekarang. Kalimat yang dilontarkan begitu tajam
merobek perasaanku. Tentu sangat menyakitkan berpisah dengan orang yang amat
kita sayangi, apalagi perpisahan ini tanpa alasan yang jelas.
Kuberanikan diri merespon perkataannya “Kamu tidak tahu
betapa besar aku menyayangimu. Kamu, ya kamu. Tidak ada yang lain yang bisa
membuatku jatuh cinta berkali-kali seperti ini. Kamu tidak tahu mati-matian aku
menjaga perasaan ini. Jika saja aku harus berlari di atas bara api, ataupun
memegang mata belati yang tajam, akan kulakukan demi membuatmu tetap di sini.
Tapi…”
Begitu teramat menyesakkan dada untuk sekedar menuntaskan
kalimat terakhir ini…
“Jika keputusanmu membuatmu bahagia. Aku terima”
Aku meninggalkannya, tanpa ingin mendengar perkataan darinya
lagi. Aku tidak sanggup sakit lebih dalam dari ini. Cukup kebahagiaannya saja
yang membuatku bisa bertahan dengan segalanya. Apapun, hanya demi dia. 5 tahun
lalu, hubungan itu berakhir. Dan perasaan indah itu kusimpan saja sendiri dalam
hati, dalam kehampaan hingga kini.
5 tahun aku bertahan dalam kesendirian, masih berharap akan
kenangan indah bersamanya yang akan kembali. Makin sering aku berharap, makin
sakit hatiku sesungguhnya. Karena kehadirannya tak lagi kurasa. Sejak
perpisahan itu, ia benar-benar lenyap dari kehidupanku. Hanya sesekali kabarnya
kudengar melalui teman baikku, teman baiknya.
Dia sehat, karirnya baik, hidupnya tentram, pasangannya
berganti-ganti. Kabar-kabar seperti itu yang kerap hadir disela perbincanganku
yang tak sengaja dengan temanku, temannya juga. Aku hanya bisa tersenyum
simpul, sambil memendam perih di hati. Hidupnya sudah move, tapi aku tidak.
Sekeras apapun aku menghilangkan bayangannya dalam
pikiranku, berkali-kali lipat ia datang lagi menyerbu saat-saat sepiku
tanpanya. Tidak adil, hanya aku yang merasa seperti ini. Aku merasa menjadi
manusia paling sengsara di dunia, 5 tahun, hidup dalam kemurungan, penantian
tak pasti. Penantian yang kecil kemungkinan akan indah pada akhirnya.
Separah itu aku tak bisa lepas dari bayangannya, bahkan saat
tak sengaja aku menghirup aroma parfum yang sama seperti yang ia dulu sering
pakai, memori ku langsung terlempar pada kenangan beberapa tahun silam, saat
masih menjalin hubungan dengannya. Seketika mood ku bisa berubah drastis. Tiba-tiba membiru. Bahkan wanginya saja mampu memindahkan duniaku begitu mudah. Perasaan rindu ini langsung menelusup memenuhi
rongga tubuhku, begitu rindu akan sosoknya. Mataku berkaca-kaca. Tak tahan,
bahkan aku kerap menangis. Aku ini tak
berdaya tanpanya. Sungguh.
5 tahun belakangan ini aku menjalani hari-hari seperti tubuh
yang tak bernyawa. Menjalani keseharian dan rutinitas yang itu-itu saja. Hidup
tanpa rasa, matipun enggan. Aku masih yakin, hanya cintanya yang mampu mengubah
jalan hidupku. Tak ada lain yang mampu menggantikannya. Aku tetap menanti.
Penantian yang tak berkesudahan.
Suatu hari, saat aku sedang menemani teman baikku berbelanja
di sebuah mal, entah ada angin apa, atau memang aku sedang dilanda rindu
serindu-rindunya, tiba-tiba banyak sosok orang-orang yang lalu lalang di mal
berwujud seperti dia. Mirip, serupa, semacam, apapun itu namanya. Berkali-kali
itupula, jantungku dibuat berdegup kencang, karena otakku selalu menduga diriku
melihat dan bertemu dirinya lagi.
Rasanya seperti terjun dari tebing tinggi, sensasinya tak
terperi. Aku ingin sekali bertemu dengannya, bahkan berhalusinasi seperti ini.
Semua orang tampak seperti dirinya. Tapi di sisi lain aku amat ketakutan, akan
seperti apa perasaanku yang telah remuk redam ini jika harus berjumpa lagi
dengannya?
Di tengah perenunganku, temanku menyelipkan sepucuk amplop.
Tak banyak ia berbicara, hanya sebuah semburat senyum kecil menghiasi wajahnya.
Sebentar ia memelukku, berpamitan, dan pergi. Aku pulang sendiri, ditemani
tanda tanya besar dalam hati. Surat siapakah yang dilayangkan untukku ini??
Dear Amanda, 5 tahun dan
ratusan purnama berlalu, tak kuduga kita benar-benar terpisah dan berpura-pura
tak saling kenal selama ini. Sejak perpisahan itu, aku merasa menjadi orang
paling bodoh sedunia, memutuskan cinta seseorang yang sangat kusayang dan
menyayangiku sepenuh hatinya. Aku benar-benar tidak tahu harus memperbaiki
keadaan seperti apa. Aku ingin bersamamu, tapi aku terlalu bodoh untuk bisa
membahagiakanmu. Dulu, aku belumlah mempunyai apa-apa, belumlah menjadi
siapa-siapa. Bagaimana mungkin aku tega terus bersamamu tanpa persiapan apapun.
Oleh karena itu aku memilih pergi. Pilihan yang teramat bodoh. Yang baru
kusadari pada akhirnya.
5 tahun dan puluhan
wanita kutemui. Ketahuilah, tak ada wanita yang seperti dirimu. Kujatuhkan diriku
kepelukan banyak wanita untuk mengenyahkan rasa bersalahku karena kehilanganmu.
Aku merasa tak punya muka untuk kembali. Karena kamu begitu sempurna, sedangkan aku
begitu dungu, jadi kufikir aku hanya pantas untuk bersama wanita yang dungu
juga. Bukan denganmu.
Amanda, 5 tahun
berlalu dan aku terperangkap dalam kebisuan. Terbelenggu ketakutan untuk
memulai percakapan lagi denganmu. Ku tahu di sana hatimu retak-retak. Oleh
karena itu aku tak tega untuk menyentuh bagian rapuh itu lagi. Karena di sini,
diriku jauh lebih rapuh tiap kali mengingatmu.
5 tahun berlalu, dan
ribuan kejadian datang dalam hidupku. Tak dapat kuhindari, bayangmu selalu ada.
Dalam ketakutan, bayanganmu selalu menguatkan langkahku memperbaiki diri. Dulu, aku hanyalah seorang pecundang yang tak berani menatap dunia. Namun lihatlah Amanda, sekarang ini aku menjadi orang yang teguh berdiri di atas kakinya. Yang siap menghadapi kemungkinan apapun sekalipun terburuk dalam hidup. Itu karena kamu, sosokmu yang meski jauh dan tak teraih, selalu memberi semangat. Hidupmu senantiasa hidup dalam hidupku.
Sekarang, aku kembali,
melalui lembaran surat ini. Karena aku ingin kamu mengerti terlebih dahulu
maksudku. Jika kamu benar mengerti, selanjutnya kamu seharusnya tahu kemana aku
akan diam menunggumu.
Dan sebelumnya, maafkan aku. Teramat dalam maaf ini kulayangkan untukmu.
Tertanda, Aksara.
Tak ada derai air mata, Amanda hanya terdiam. Tak mampu
tubuhnya merespon apa-apa setelah tuntas ia membaca sepucuk surat itu. Ia lantas berlari bagai kesetanan ke tempat yang Aksara maksud "diam menunggu" itu. Memang tidak jauh lokasinya dari rumah Amanda. Dalam hitungan 10 menit berlari bagai phanter, Amanda berlari menghampiri sesosok tubuh yang diam berdiri di bawah pohon Angsana Kuning yang sedang gugur bunganya. Hatinya berdegup kencang. Otot-ototnya kaku, tubuhnya gemetar dan tak bisa digerakan lagi, namun ia masih bisa melihat sosok itu berbalik badan dan tersenyum simpul, tepat di depannya sekarang.
"Jangan berani-beraninya mendekat jika kamu hanya main-main" suara Amanda tergetar hebat.
Laki-laki yang telah lama ia nantikan akan kembali berdiri tepat di hadapannya, tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Otak Amanda blank seketika. Seperti terjangkit virus, entah jenis virus apa.
Lelaki itu tidak membalas apa-apa perkataan Amanda. Ia hanya tersenyum, senyum yang sama yang selalu mampu mencuri detak jantung Amanda seketika. Kemudian ia menghampiri gadis yang masih berdiri gamang itu dan meraih jari-jemari tangan Amanda begitu lembut. Lama-kelamaaan genggamannya makin begitu erat. Amanda memejamkan matanya, Aksara membisikinya sesuatu. "Rasakan, jika rasanya masih sama seperti dulu. Balaslah genggaman tanganku ini, Amanda"
Kedua insan itu saling menutup mata. Merasakan getaran yang bereaksi di dalam dirinya. Tidak butuh waktu lama untuk Amanda merasakan gelombang hebat yang melanda dirinya sekarang, jantungnya beribu kali lipat berdetak lebih cepat, rasanya seperti mau copot. Genggaman tangan Aksara membuatnya merasa seperti melayang. Nyaman, indah, rasa yang sama persis seperti awal dulu Aksara menyatakan cintanya. Tidak ada yang berubah, sama sekali, walau Aksara pernah menggores luka sangat dalam karena meninggalkannya sendiri. Hati Amanda masih menyebut nama yang sama: Aksara.
Rasanya pun masih bernama sama: Jatuh Cinta. Dengan orang yang sama, dengan tatapan yang sama, dengan sentuhan yang sama, dengan lelaki yang memiliki aroma wangi khas yang sama yang begitu menenangkan jiwa. Amanda tidak terfikir ingin bersama orang lain, sejak awal mereka bertemu hingga nanti, entah kapan.
Amanda membalas genggaman tangan Aksara begitu eratnya, hingga membuat hati Aksara terlonjak. Aksara menggantikan genggaman tangan penuh cinta itu dengan pelukan dalam yang mampu menyapu seluruh hati Amanda yang sedang dipenuhi kebahagiaan memuncak luar biasa.
Amanda membalas genggaman tangan Aksara begitu eratnya, hingga membuat hati Aksara terlonjak. Aksara menggantikan genggaman tangan penuh cinta itu dengan pelukan dalam yang mampu menyapu seluruh hati Amanda yang sedang dipenuhi kebahagiaan memuncak luar biasa.
Kesalahan ada untuk dimaafkan. Kesepian dan sakit yang dideritanya musnah seketika, Aksara datang membawa penawarnya. Aksara telah menawarkan diri, jiwa, serta raga sepenuhnya untuk menemani Amanda. Begitupun Amanda telah rela menjatuhkan hati sepenuhnya pada lelaki ini, tanpa peduli apapun yang telah terjadi di antara mereka sebelumnya dan yang akan terjadi nanti, untuk kemudian berjanji tidak akan saling melepaskan lagi.
Biarkan saat-saat ini dirasakan bersama, berdua saja, saat ini juga.
Akhirnya,...
Kali kedua, kita bersama lagi...
Lah, dimuat dimana ini?
ReplyDeletebtw, angsana pohon favorite ya? muncul di cerpen lainnya juga kayaknya.