cerita pendek
Move on!
Malam itu, aku menenggak kopi yang pahit.
Pahit sekali. Air yang kental hitam pahit pekat itu perlahan-lahan mulai
menawarkan rasa pahit di hatiku.
Kala itu, hatiku sedang dirundung pilu
yang teramat dalam. Seseorang disana telah berulang-ulang membuatku terluka dan
tak pernah sekalipun menganggapku ada.
Pahit kopi yang ku tenggak lagi dan lagi
mampu menemaniku melewati malam ini yang hampir saja menenggelamkanku dalam
luapan air mataku sendiri.
Aku terbangun dan masih merasa
tercampakkan. Rasanya jiwaku telah terlepas dari raganya, tapi aku belum
sepenuhnya mati karena aku masih bisa merasakan sengatan matahari dari jendela
mulai menggigiti ujung saraf kulitku.
Ku langkahkan kaki menatap pantulan
wajahku di cermin. Kuyu, lemah, mata bengkak sembab sisa luapan tangis semalam,
tak bercahaya, tak ada harapan.
Beginikah tampilan manusia yang dilema
dihancurkan oleh cinta??
Ya, sayangnya manusia itu adalah aku
sendiri.
Tulit tulit.
Masih gontai aku menyeret langkah
menggapai hp ku dan menatap kosong pesan singkat masuk di layarnya.
~Aku harap kamu bisa menenangkan diri.
Ini semua takdir Tuhan. Aku hanya menyerahkan kepadaNya. Sekarang, carilah
pasangan yang lebih baik untukmu. Kamu pasti bahagia~
Bulshit dengan takdir!! Dengan geram aku
banting hp ku di atas lantai sampai tercerai cashing dan baterainya. Aku
berteriak melolong seperti serigala.
Kenapa harus aku yang mengalah?
Kenapa mesti aku yang harus ditinggalkan?
Tidak adil ini semua!!
Kaki ku lemas seketika. Aku ambruk di
kamarku sendiri. Tak sadarkan diri, entah berapa lama aku terpejam. Semuanya
gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Namun pendaran cahaya di titik terjauh
dari kegelapan pelan-pelan menghampiriku, makin kuat, aku memicingkan mata yang
sebenarnya sedang terpejam itu karena silaunya. Dan aku serasa terlempar ke
ruang lain, waktu yang berbeda, seketika aku sudah tidak lagi berada di
kamarku.
Aku melihat sesosok tidak asing sedang
duduk santai sambil bersenda gurau di sebuah toko kopi. Ku kucek-kucekan mata
untuk meyakinkan bahwa pandanganku kali ini tidak keliru. Ya, ternyata itu
benar dia, seseorang yang telah meninggalkan ku untuk wanita lain. Dan dia
sedang berada di sana, tampak tertawa bahagia dengan wanita yang amat ku benci.
Aku ingin begitu saja menghampiri mereka, mengacak-acak meja dan apapun yang
ada dihadapan mereka dengan penuh emosi. Tapi anehnya langkahku tertahan, aku
tidak dapat menggerakan tubuhku se-inchi pun. Ada apa ini?? Akupun tidak dapat
merasakan denyut di nadiku. Apakah aku sudah mati?? Ah, itu tidak penting. Kini
mataku sibuk memperhatikan gerak-gerik mereka di cafe itu.
Kini lelaki itu mulai beranjak dari
duduknya, ia mendekati wanita laknat itu, perlahan, kemudian mengelus perutnya,
mereka tampak tersenyum bahagia. Dan baru saja ku sadari bahwa perut wanita itu
telah membuncit. Dia hamil!! Mereka...mereka akan punya anak. Oh, kutukan macam
apa lagi ini. Dadaku perih seketika seperti disayat pisau berkarat. Aku ingin
segera melarikan diri sejauh mungkin dari tempat ini, tapi lagi-lagi aku tak
bisa berkutik. Akhirnya aku hanya bisa memejamkan mata meredam perih tak
tertahankan ini. Sesaat terpejam...
Dan ketika aku membuka mata, ternyata aku
sudah berada di tempat yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Aku berada di
dalam rumah kecil berdebu. Di sana tinggal seorang nenek tua yang terbatuk di
atas kursi goyang sambil memegangi sesuatu yang aku tidak tahu apa itu.
Ajaibnya, kali ini aku bisa bergerak, namun aku tidak merasakan kaki ku
melangkah melainkan melayang. Aku masih belum bisa merasionalkan keadaanku saat
ini. Bagiku, keadaanku saat ini masih tidak penting. Aku malah sibuk bergerak
berputar di sekitar nenek tua itu. Nenek yang hidup seorang diri, karena aku
tidak melihat ada satupun foto keluarga di ruangan itu. Kasian sekali nasibnya,
fikirku. Pasti hidupnya amatlah sunyi. Aku melayang ke hadapan nenek tua dan
memandangi wajahnya dengan khusyuk. Tiba-tiba, tanpa ku sangka nenek itu
melonjak memelototi ku. Aku kaget bukan main. Ia menggeram, gigi tanggalnya
gemerutuk. Dan seketika mencengkram lenganku kuat sekali. Ia berteriak nyaris
seperti lengkingan halilintar.
"Lihat apa yang kau perbuat pada
dirimu, pada kehidupanku!! Seumur hidup aku telah menghabiskan waktu seorang
diri. Termakan usia, hidup menua tak berarti dan tidak bahagia. Ini semua
ulahmu. Ini semua salahmu!"
Aku ketakutan sekaligus kebingungan
dengan amukan nenek tua itu. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku, aku
tergugu. Nenek tua itu mengendurkan genggaman tangannya, kini berganti
memegangi dadanya, seperti terkena tembakan senapan. Ah bukan, nenek tua itu
terkena serangan jantung. Aku panik, namun juga tidak dapat berbuat apa-apa
saking paniknya. Aku hanya bisa memandanginya yang kian sulit bernafas, hingga
akhirnya...satu hembusan nafas terkhir, nenek itu telah tiada.
Aku masih terdiam memandangi pemandangan
tragis di hadapanku baru saja. Dan baru ku sadari nenek tua tadi, di tangan
satunya ternyata memegang sebuah frame foto. Aku mencoba mengambil dari tangan
nenek itu. Aku pandangi lekat-lekat. Aakk! Praaaang!! Aku menjatuhkannya, kaca frame hancur
berkeping-keping. Kali ini aku benar-benar merasa terpukul dan kaget bukan
alang kepalang. Ternyata nenek itu dan orang yang ada di foto itu, adalah orang
yang sama. Dialah AKU!
Apa yang telah ku perbuat pada diriku
sendiri?? Pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Aku menangis, menjerit tiada
henti, sampai akhirnya aku kembali terserap ke pusaran yang entah mengapa
membawa ku kembali ke kamarku. Ke dunia nyata.
Apakah tadi aku sedang berhalusinasi?
Untuk meyakinkannya aku mencubit lenganku
sendiri, dan awww... rasanya sakit. Ya sekarang aku berada di dunia nyata.
Apa yang sedang aku bayangkan barusan?
Aneh, padahal sebelumnya aku sedang menangis meratapi kepergian lelaki yang ku
cintai, pusing, tak sadarkan diri, tiba-tiba aku melihat adegan di sebuah cafe,
sepasang lelaki dan wanita yang kubenci begitu bahagia menyambut buah hatinya
yang akan melengkapi kehidupan mereka yang begitu sempurna, sementara di sudut
lain aku merasa sekarat menahan perih tak berkesudahan, dan setelahnya... Oh,
ini yang paling mengerikan. Aku melihat gambaran diriku yang hidup seorang
sendiri, menua, kesepian. Aaaaaaakkkk!! aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat ke
kanan dan ke kiri seperti orang berpenyakit jiwa.
Aku coba menenangkan diriku, menarik
nafas, hhhhheeehhh....satu tarikan nafas berhasil membuatku sedikit
berelaksasi. Aku henyakkan pantatku di kursi dekat jendela, mencoba menenggak
gelas yang berisi air putih di atas meja kayu.
Tiba-tiba ada secarik kertas terbang
begitu saja dari luar jendela ke atas pangkuanku. Aku membuka lipatan dan
membacanya. Aku terngaga...secarik kertas itu berisi kata yang mampu membuatku
memiliki energi untuk menarik bibirku membentuk lengkungan. Seketika saja aku
merasa harus mengubah jalan hidupku. Aku tidak akan berharap lagi pada orang
lain di luar sana yang sekarang sudah
pasti bahagia dengan kehidupannya sendiri, bukanlah dengan ku. Aku tidak akan
menyesali dan menunggunya lagi sampai aku tua, tidak bahagia, dan kesepian
seorang diri. Menyia-nyiakan hidupku sendiri. Buat apa aku mengharapkan
kebahagiaan dari orang lain yang belum tentu bisa membuatku bahagia??
Aku lupa untuk menengok ke dalam diriku
sendiri bahwa disana tersimpan harapan untuk membuat hidupku ini lebih baik
dari sebelumnya. Aku menggenggam erat kertas itu, dan menitikkan air mata penuh
syukur dan bahagia karena merasa telah disadarkan. Aku akan tetap melanjutkan
hidupku sehidup-hidupnya dan membuatnya bahagia dengan caraku sendiri. Saat itu
juga aku merasa hidup kembali dan baru kali ini aku merasa amat mencintai
diriku sendiri.
Sebuah kata dalam secarik kertas yang
terbang terbawa angin masuk ke kamarku adalah kata yang mampu menyulut
semangatku kembali. Secarik kertas itu bertuliskan kata "Move on"
0 comments: